12 Mei 2016

Optimalisasi Pengunaan Combine Harvester Untuk Pemanenan Padi

OPTIMIZATION OF USE COMBINE HARVESTER TO HARVESTING OF RICE

Wahyu Aulia 1305106010057  Faculty of Agriculture, Departement of Agricultural Engineering  University of Syiah Kuala, Banda Aceh

SUMMARY

Rice is one of the most important food crops as a source of staple food for most people of Indonesia. Handling harvest from the farm is an important starting point to ensure increased income and welfare. There are several levels of rice harvest handling is done cutting, threshing and packaging (bagging). A high percentage of loss that occurs mainly on the stage of harvesting and threshing rice, is expected to lose at that stage of greater than 9%.
Conditions rice harvest time can be seen in two ways determination, namely: (a) Visually, the optimal harvesting of rice is achieved when 90 to 95% grains in rice panicle already yellow or golden yellow. (b)While theoretically, be age appropriate rice harvest is 30 to 35 days after flowering evenly or between135 to 145 days after planting. And moisture content of grain moisture content reaches 22-23% in the dry season, and between 24-26% in the rainy season.
Harvesting equipment used by farmers today still with traditional tools such as the ani-ani and develop into a sickle. The growing use of sickle it can eliminate yield loss reaches 3-8%. Cutting is the modern way using a machine reaper. From the reaper machine usage, provide a significant impact to squeeze the rice harvest losses of less than 1%.
Handling process after cutting is threshing. Traditionally rice threshed by gebot with scattered losses are so great around 8-9% or use the pedal thresher which is semi-mechanical with the result of shrinkage or loss of this instrument is similar to how gebot ranges from 5-7%. while mechanically by the engine power thresher employ diesel engines as the driving force, stressing the results of shrinkage grain rice ranges from 1-2% also saves time and practical use that does not require a lot of manpower and operator.
Combine harvester machine rice harvest is capable of completing the job reap, threshing, separating, cleaning and sieving grain in one order. Combine harvester, is able to reduce the number of shrinkage yields by 1 to 2 percent compared with the harvest without the combine (conventional) shrinkage produced by 15-20%. Results harvesting of Combine harvester cut the rice stalks from the base of the stem is then separated between trunks with grain and exit in the form of grain.
           Fewer farm workers are needed in the operation of the combine harvester, only need one operator and farm workers carrier harvest as much as 3-4 people. It can threaten the other farm workers, especially women farm workers contributed most.

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Padi adalah salah satu tanaman pangan yang sangat penting karena sebagai sumber makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Penanganan panen yang dimulai dari tingkat petani merupakan titik awal penting untuk menjamin peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Kegagalan penanganan panen padi pada tingkat petani ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu hasil dan tingginya tingkat susut atau kehilangan hasil dan kerusakan gabah. Ada beberapa tingkat penanganan panen padi yang dilakukan yaitu pemotongan, perontokan, dan pengemasan (pengarungan).
Panen padi di Indonesia masih didominasi oleh tenaga manusia dengan menggunakan curahan tenaga kerja yang tinggi, kurang lebih 40% dari penggunaan total tenaga kerja orang untuk padi sawah intensif (1200-1500 JO/ha). Disamping masalah tenaga kerja, masalah budaya juga menyebabkan tingginya susut panen padi disawah, dimana angka susut pasca panen adalah sekitar 20%. (Handaka, 2007)
Selama kurun waktu 15 tahun kemudian, tingkat kehilangan hasil masih belum banyak berubah. Pada tingkat produksi padi mencapai 50 juta ton gabah kering giling (GKG), dapat diperkirakan bahwa jumlah kehilangan gabah menjadi kurang lebih 10 juta ton tiap tahun. Proses kehilangan ini terjadi pada setiap tahapan produksi padi, mulai dari panen, perontokan, pengeringan, pengangkutan, penggilingan dan penyimpanan. Persentase kehilangan yang tinggi terutama terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan padi, diperkirakan kehilangan di tahapan tersebut lebih besar dari 9% (BPS, 1996).
Peralatan panen yang dipergunakan oleh petani saat ini masih dengan alat-alat yang tradisional seperti ani-ani dan berkembang menjadi sabit. Seiring dengan perkembangannya varietas padi baru, pengunaan sabit berevolusi menjadi sabit yang bergerigi terbuat dari bahan baja yang tajam. Dan berkembang lagi secara modern menggunakan mesin reaper (Nugraha dkk, 1990).
Lebih lanjut, proses penanganan setelah pemotongan adalah perontokan. Dalam tahapan ini, diperlukan tindakan yang serius karena pada tahapan perontokan susut tercecer dan kehilangan banyak terjadi. Secara tradisional padi dirontokkan dengan digebot atau menggunakan pedal thresher yang secara semi-mekanis. Dengan perkembangan teknologi maka diciptakan mesin power thresher yang dikembangkan berdasarkan konsep pedal thresher yang masih memerlukan tenaga manusia sebagai tenaga penggerak sedangkan mesin power thresher menggunakan tenaga mesin diesel sebagai tenaga penggerak.
Kementrian Pertanian mencanangkan pentingnya mekanisasi pertanian. Dengan menargetkan peningkatan produktivitas dan efisensi kerja, kualitas dan daya saing produk serta dapat menekan kehilangan dan mengurangi ongkos produksi. Untuk itu pemerintah baik pusat maupun daerah memberikan berbagai bantuan teknologi pertanian kepada para petani. Salah satunya adalah pemberian mesin panen (combine harvester)
Combine harvester yang berguna untuk memotong bulir tanaman padi yang berdiri, merontokkan dan mengarungkan gabah sambil berjalan dilapangan. Dengan demikian waktu pemanen lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia (manual) serta tidak membutuhkan jumlah tenaga kerja manusia yang besar seperti pada pemanenan tradisional. Adanya pengadaan mekanisasi pertanian terkhusus pada penanganan panen dapat membantu cepat menyelesaikan kegiatan pasca panen.
Dengan kehadiran dari sistem mekanis dengan menggunakan Combine harvester maka memunculkan permasalahan sosial-budaya memberikan dampak kepada buruh tani yang terancam kehilangan sumber mata pencaharaiannya. Oleh karena itu, karya tulis diberi judul Optimalisasi Penggunaan Combine Harvester Terhadap Penanganan Panen Padi sehingga dengan penerapan yang maksimum pada mesin tersebut dapat mengurangi susut dan kehilangan hasil dari penanganan panen padi juga memberikan ulasan yang membantu permasalahan sosial-budaya masyarakat buruh tani yang menitikberatkan kehidupan ekonomi pada pertanian
1.2.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ini adalah:
1.    Bagaimana hasil yang maksimum combine harvetser dibandingkan dengan proses penanganan padi yang lain ?
2.    Bagaimana dampak yang terjadi atas kemunculan penggunaan mesin combine harvester?
1.3.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
1.    Menjelaskan kemampuan mesin combine harvster  dalam menangani kegiatan panen padi
2.    Menyebutkan dan menjelaskan dampak yang terjadi dari kemunculan mesin combiner harvester
1.4.  Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah:
1.    Bagi Penulis
Menambah wawasan dan ulasan mengenai penanganan panen padi
2.    Bagi Pembaca

Mengetahui penanganan panen padi yang praktis dan dapat meningkatkan hasil dan mutu gabah yang baik

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1.  Tanaman Padi
Tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim dengan morfologi berbatang bulat dan berongga yang disebut jerami. Daunnya memanjang dengan ruas searah batang daun. Pada batang utama dan anakan membentuk rumpun pada fase generative dan membentuk malai. Padi adalah salah satu tanaman pangan yang sangat penting karena sebagai sumber makanan pokok sebagaian besar masyarakat Indonesia.
 Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki tahun-1 sekitar 1500–2000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah 23 °C dan tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 m dpl. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jurnlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18–22 cm dengan pH antara 4–7 (Siswoputranto, 1976).

1.1.  Kriteria Panen Padi
Penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi. Ketidaktepatan dalam penentuan saat panen dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu gabah/beras yang rendah. Penentuan saat panen dapat dilakukan berdasarkan pengamatan visual dan pengamatan teoritis.
a.)     Pengamatan visual dilakukan dengan cara melihat kenampakan padi pada hamparan lahan sawah. Berdasarkan kenampakan visual, umur panen optimal padi dicapai apabila 90 sampai 95 % butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi.
b.)   Pengamatan teoritis dilakukan dengan melihat deskripsi varietas padi dan mengukur kadar air dengan moisture tester. Berdasarkan deskripsi varietas padi, umur panen padi yang tepat adalah 30 sampai 35 hari setelah berbunga merata atau antara 135 sampai 145 hari setelah tanam. Berdasarkan kadar air, umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22 – 23 % pada musim kemarau, dan antara 24 – 26 % pada musim penghujan (Darmadjati, 1974).

Pemanenan waktu yang tepat akan menentukan kualitas dan kuantitas bulir padi yang dipanen. Panen yang terlalu cepat dari waktu yang telah ditentukan akan menimbulkan besarnya presentase bulir padi warna hijau dan mengakibatkan bulir berisi kosong dan rusak saat digiling. Jika panen terlalu lama mengakibatkan hasil padi akan berkurang dan terlepas dari malai serta tercecer disawah.

1.2.  Sistem Panen Padi
Proses pemanenan merupakan tahapan kegiatan yang dimulai dari pemotongan padi hingga perontokan gabah. Dalam sistem panen tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh mekanisme panen itu sendiri dan proses pemanenan. Mekanisme panen sangat terkait dengan budaya serta kebiasaan masyarakat setempat, terdapat tiga sistem pemanenan padi yang berkembang di masyarakat yaitu sistem ceblokan, sistem individu atau keroyokan dan sistem kelompok.
               Pada sistem ceblokan pemanenan dilakukan dengan jumlah pemanen yang terbatas. Pemanen ikut dalam proses pemanenan dan merawat tanaman tanpa mendapatkan upah dari  pemilik sawah. Pada sistem ceblokan, orang lain tidak boleh ikut panen tanpa seijin penceblok. Pada sistem individu atau keroyokan, jumlah pemanen tidak terbatas (150-200 orang per ha) tanpa ikatan kerja antara yang satu dengan lainnya. Jumlah pemanen cukup  banyak sehingga berebut panen dan mengumpulkan potongan padi secepatnya agar dapat  segera pindah ke sawah yang lain. Akibatnya banyak gabah yang rontok dan potongan padi  yang tercecer. Pada panen sistem kelompok jumlah pemanen terbatas (20-30 orang per ha), bekerja secara beregu, pembagian tugas jelas dan perontokan menggunakan pedal threser atau power  therser (Setyono dkk, 1993).
Sistem panen tersebut sangat terkait dengan faktor sosial dan budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya mempengaruhi pada tahapan selanjutnya berupa kegiatan perontokan serta faktor kehilangan hasil. Pemanenan padi sistem individual atau keroyokan dengan jumlah pemanen yang tidak terbatas menyebabkan banyak gabah tercecer dan yang tidak terontok. Pemanenan padi dengan sistem kelompok atau beregu mudah terkontrol, sehingga dapat menekan tingkat kehilangan hasil panen (Ananto dkk, 2003).

1.3.  Proses Pemanenan Padi
Saat ini perkembangan varietas padi yang ditanaman merupakan varietas unggul baru yang memiliki kelemahan yang mudah rontok, jumlah batang atau anakan banyak, menyebabkan kehilangan dan perontokan yang tinggi saat dipanen. Penanganan yang tidak tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan.
Dengan diintroduksikannya varietas unggul padi maka terjadi perubahan penggunaan alat panen dari ani-ani ke sabit biasa atau sabit bergerigi (Nugraha dkk. 1990). Panen padi di Indonesia secara umum dilakukan dengan 2 cara yaitu, secara manual menggunakan sabit. Sabit umumnya digunakan petani untuk memanen dengan potong pendek pada bagian atas tanaman dekat malai, cara pemotongan tersebut berguna untuk dirontokkan dengan gebot atau pedal thresher. Sedangkan potongan panjang atau menggunakan mesin reaper pada bagian bawah dekat tanah tanaman berguna agar lebih mudah saat dirontokkan dengan mesin power thresher dengan metode throw in dan hold on.
         Perontokan bertujuan untuk melepaskan gabah dari malainya, dengan cara memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai (Mejio, 2008) dan dilakukan dengan cara manual dan mekanis. Perontokan manual atau disebut gebot dilakukan dengan memukul dan membanting malai padi pada benda yang lebih keras hingga gabah terlepas dari malainya. Namun, perontokan semi-mekanis juga ada dimanfaatkan petani tetapi membutuhkan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Untuk perontokan secara mekanis dilakukan dengan mesin power thresher, sehingga petani lebih memilih menggunakan mesin perontok karena dianggap praktis dan efektif.

2.5. Combine Harvester
Dalam dekade terakhir telah berkembang penggunaan mesin pemanen. Hal ini sejalan dengan upaya untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja di pedesaan. Mesin panen yang diintroduksikan antara lain stripper, reaper, dan combine harvester. Kapasitas kerja stripper dan reaper masing-masing 17 jam/ha, sedangkan combine harvester 5,05 jam/ha (Purwadaria dkk. 1994).
Combine harvester adalah mesin panen padi yang serba komplit dan canggih dalam pengoperasiannya. Combine harvester  dapat bekerja cepat pada areal sawah yang luas. Waktu yang dibutuhkan untuk memanen padi relatif singkat. Combine harvester dilengkapi dengan alat pemotong, perontok, dan mengarungkan padi dalam suatu proses kinerja saja (Hasibuan, 1999).
Pada tahapan proses kerja dari alat combine harvester, tujuan akhir dari operasi pemanenan dan perontokan adalah untuk memperoleh biji yan bebas dari kotoran dan sisa-sisa tanaman, dengan susut yang minimum, kerusakan eksternal minimum dan kerusakan internal minimum, jika biji-biji dipakai untuk bibit. Menurut Daywin dkk (2008), ada lima operasi dasar yang dikerjakan oleh sebuah combine untuk menghasilkan biji yang bersih, yaitu ;
1.    Memotong (mengangkat dari windrow)
2.    Mengangkat dan memasukkan bahan yang telah dipotong kedalam mekanisme thresher
3.    Merontok atau melepaskan biji dan malai atau jerami
4.     Memisahkan biji dan jerami dari sisa-sisa tanaman lainnya.
5.    Membersihkan biji dari sisa-sisa tanaman dan kotoran-kotoran lainnya.
Pada kondisi operasi yang normal sebagian besar dari biji yang dirontok, dipisahkan dari jerami pada unit perontok yang jatuh melalui lubang-lubang pada concave dan pembersihan bahan-bahan sisanya terjadi pada straw carrier, pada waktu jerami bergerak kearah belakang mesin

                                         BAB III. ANALISIS DAN SINTESIS

            Kegiatan panen padi merupakan serangkaian kegiatan yang dimulai dari proses pemotongan hingga pengarungan kedalam karung. Penentuan umur panen padi sangat perlu diperhatikan karena berhubungan dengan  mutu gabah yang baik dan tidak mudah rusak saat diproses menjadi beras. Waktu optimum untuk melakukan pemanen padi dikondisikan saat padi sudah menguning atau disesuaikan dengan waktu tanam padi berdasarkan varietasnya.
            Masalah utama kegiatan panen padi dititikberatkan pada 3 tahapan yaitu, pemotongan, perontokan, dan pengemasan (pengarungan) dimana pada ketiga tahapan tersebut sering terjadinya kehilangan atau susut tercecer saat kegiatan berlangsung. Kehilangan panen padi saat pemotongan bisa mencapai 9 % dan pada tahapan perontokan mencapai 5% dan pengarungan sekitar 1% kehilangan yang terjadi.
Maka dari itu, diperlukan perbaikan dan modifikasi peralatan pada ketiga tahapan tersebut sehingga dapat meminimumkan kehilangan yang terjadi. Namun, kegiatan tersebut kurang diperhatikan oleh para petani karena minimnya pengetahuan kegiatan panen yang sesuai dan terkesan membiarkan kehilangan hasil panen yang dilakukan.
Hasil survei pada tahun 1992 menunjukkan adanya dua sistem pemanenan padi yang berkembang di petani, yaitu (1) sistem individu atau keroyokan, dan (2) sistem ceblokan. Pada kedua sistem panen ini selalu terjadi penundaan perontokan gabah di sawah selama 1-3 hari tanpa alas. Hal ini menyebabkan kehilangan hasil 1- 3% karena gabah rontok. Kedua sistem panen tersebut dikerjakan oleh tenaga pemanen yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan banyak gabah yang rontok rata-rata 6,1%. Oleh karena itu, dikembangkan sistem pemanenan padi secara kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan, pemanenan dengan sistem kelompok menurunkan tingkat kehilangan hasil padi menjadi 5,9%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan cara keroyokan 18,9%. Pemanenan padi sistem kelompok dapat menekan kehilangan hasil dari 18,8% pada cara keroyokan menjadi 3,8%.

3.1. Teknologi Panen Padi
            Setelah ditentukan waktu panen, tahapan awal pemotongan padi yang secara tradisional menggunakan ani-ani kemudian berkembang menggunakan sabit biasa atau sabit bergerigi. Berkembangnya penggunaan sabit ternyata dapat menghilangkan kehilangan hasil mencapai 3-8%. Namun, hal tersebut masih menjadi kategori kehilangan yang cukup besar dan dapat mempengaruhi susut hasil pada proses perontokan. Seiring dengan perkembangan teknologi, penerapan mekanisasi pertanian tidak luput pada proses pemotongan dengan menggunakan mesin reaper.
            Munculnya mesin reaper didasarkan pada prinsip kerja penggunaan sabit, bekerja dengan memotong dan merebahkan tegakan padi di sawah. Mesin ini bergerak maju dengan menerjang dan memotong tegakan serta menjatuhkan hasil potongan kesamping kanan. Dari penggunaan mesin reaper, memberikan dampak yang signifikan dengan menekan hasil susut panen padi kurang dari 1%. Hasil pemotongan secara mesin ini kemudian dirontokkan dengan menggunakan mesin power thresher.

3.2. Teknologi Perontokan Padi
            Dalam kegiatan perontokan padi saat ini terdiri dari tiga cara perontokan, yaitu secara tradisional atau gebot, secara semi-mekani dengan pedal thresher, dan secara mekanis menggunakan mesin power thresher. Hasil pemotongan menggunakan sabit dengan potongan panjang (dekat tanah) dirontokkan dengan cara gebot dengan memukul atau membanting tangkai padi pada benda keras (kayu, drum, dan lain-lain) hingga gabah terlepas dari malainya. Dengan kapasitas kerja 55-60 kg/jam/orang susut tercecer yang terjadi sangat besar berkisar 8-9%.
               Perontokan dengan gebot sudah ditinggalkan para petani, karena membutuhkan tenaga yang besar dan juga hasil susut yang relatif besar membuat para petani meninggalkan cara ini dan lebih menggunakan  mesin power thresher.
            Selain itu, inovasi perontokkan berubah menggunakan pedal thresher dimana penerapan teknologi ini masih menggunakan tenaga manusia sebagai tenaga penggeraknya. Aplikasi alat ini banyak digunakan para petani yang minim modal, dikarenakan alat ini dapat dibuat sendiri menggunakan bahan kayu dan sebagainya sehingga tidak mengeluarkan modal yang cukup banyak. Hasil susut atau kehilangan alat ini hampir sama dengan cara gebot berkisar 5-7% yang terjadi dengan kapasitas kerja sebesar 90-120 kg/jam
            Setelah dicanangkannya program mekanisasi pertanian oleh pertanian sejak masa Revolusi Hijau, maka kegiatan perontokan berubah secara mekanis dengan memanfaatkan tenaga mesin. Mesin power thresher merupakan mesin yang berfungsi sebagai perontok padi. Selain menekankan hasil susut gabah padi berkisar 1-2% juga menghemat waktu dan praktis penggunaannya yang tidak membutuhkan banyak operator dan tenaga manusia. Mesin power thresher banyak digunakan dan dijumpai di areal persawahan saat kegiatan pemanenan berlangsung. 

3.3. Combine Harvester
Combine harvester adalah mesin panen padi yang mampu menyelesaikan pekerjaan menuai, merontok, memisahkan, membersihkan, dan mengayak gabah dalam satu urutan. Strukturnya kompak, mobilitas tinggi, stabil, andal, ekonomis, dan kuat aksesibilitasnya ke lahan sawah, serta mesin ini hemat bahan bakar. Untuk mengoperasikan alat bermesin diesel 25 PK hanya membutuhkan solar 6,5 l/ha. Combine harvester memiliki keterbatasan, yaitu sulit bekerja pada lahan dengan kedalaman lumpur 20 cm atau lebih dan kurang berfungsi efektif pada lahan dengan kemiringan tinggi. Di samping itu, tanaman padi yang akan dipanen tidak boleh basah untuk mencegah kemacetan di dalam sistem perontokan.
Hasil menjelaskan, penggunaan combine harvester bisa sangat menghemat waktu petani. Pemakaian combine harvester ukuran kecil saja hanya memakan waktu 4-5 jam per hektar. Jika dibanding panen dengan tenaga manusia, bisa memakan waktu seharian. Kelebihan lain combine harvester,  mampu menekan angka susut hasil panen sebesar 1 sampai 2 persen.  Jika panen konvensional akan terjadi  susut hasil mencapai 15-20 persen. Selain itu, sudah bersih terpotong hingga pangkal batang sehingga memperkecil kehilangan hasil panen dibanding menggunakan parang atau arit. Dengan combine harvester, batang padi yang dipanen langsung terpotong hingga pangkal batang. Lalu dipisahkan antara batang dengan gabah dan keluar dalam bentuk gabah.

3.4. Permasalahan Sosial-Budaya
Panen padi menggunakan combine harvester membutuhkan 2-8 orang tenaga kerja dalam 1 ha luasan panen. Satu orang operator, 1-3 orang asisten operator dan sisanya membantu angkut karung gabah ke mobil pengangkut. Dengan dibutuhkan buruh tani yang sedikit maka dapat mengancam para buruh tani yang lain terutama para buruh panen perempuan yang kebanyakan turut andil. Selain itu, pemadatan tanah lahan sawah menjadi besar sehingga diperlukan biaya yang lebih besar untuk mengolah lahan akibat pemadatan. Kemunculan combine harvester juga mengakibatkan pemilik mesin power thresher kehilangan penyewa.
Dengan permasalahan tersebut, pemerintah oleh kementrian pertanian sebaiknya memberikan hal yang solutif tanpa mengurangi dan menghentikan penggunaan combine harvester. Para buruh tani diberikan sosialisasi dan pengarahan berkaitan dengan kelompok atau paguyuban buruh tani, dimana keberadaan mereka tidak terancam melainkan sebagai mediator dengan memberikan bantuan atau kredit untuk membeli mesin combine harvester untuk disewakan. Dan pemilik dan penyewa mesin power thresher juga bisa berperan dan bekerja sama dengan buruh tani.
    
                                   BAB IV  SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1  Kesimpulan
1.   Hasil pemanen secara tradisional mengakibatkan susut yang terjadi pada gabah padi sebesar 15-20 persen dan sangat berbeda jauh jika penerapan mesin panen combine harvester susut berkurang menjadi 1-2 persen
2.   Pemanenan secara tradisional seperti menggunakan sabit dan ani-ani bisa menyelesaikan kegiatan panen seharian atau lebih dengan penggunaan mesin panen combine harvester mampu menyelesaikan dalam jangka waktu 4-5 jam per hektar.
3.   Kondisi lahan yang sesuai untuk mesin panen combine harvester dengan kedalaman berkisar 20 cm, tetapi akan lebih efektif jika lahan sawah dalam keadaan kering dan tidak berlumpur
4.   Resiko penggunaan mesin panen combine harvester mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, menghilangkan usaha penyewaan mesin power thresher juga terjadinya pemadatan tanah akibat tekanan dari mesin panen combine harvester

4.2  Rekomendasi
1.  Kegiatan panen padi dari pemotongan sampai pengarungan akan lebih praktis menggunakan combine harvester. Jika penggunaan mesin power thresher mampu menekan susut hasil yang sama tetapi penggunaan  combine harvester dapat bekerja sekaligus dari pemotongan, perontokan, dan pengarungan.
2.  Pemerintah  mengarahkan dan membimbing serta memberikan bantuan atau perkreditan kepada buruh tani sebagai fasilitator combine harvester untuk disewakan kepada pemilik lahan atau sawah


DAFTAR PUSTAKA

Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno, 2003. Panduan Teknis Penanganan Panen dan Pascapanen Padi dalam Sistem Usaha Tani Tanaman Ternak. Puslitbangtan Press. Bogor
Biro Pusat Statistik, 1996. Survei susut pascapanen MT 1994/95 dan MT 1995. Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog-bapenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian.
Damardjati, D.S., 1974. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap sifat dan mutu beras. Thesis MS Institut Pertanian Bogor.
Daywin, F. J., R. G. Sitompul dan Imam Hidayat, 2008. Mesin-Mesin Budidaya Pertanian di Lahan Kering. Graha Ilmu. Yogyakarta
Hasibuan, F., 1999. Kajian Teknis dan Ekonomis Pemakaian Head Feed Combine Harvester (CA 385 EG) Di Daerah Sukamadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Press. Bogor
Handaka dan Joko Pitoyo, 2007. Evaluasi Sifat Mekanis Tanah Untuk Mekanisasi Panen Padi Sawah (studi kasus di Sukamandi). Jurnal Enjiniring Pertanian Vol V, No 2 Hal 81-87. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor
Mejio, D.J. 2008. An overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damarjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Purwadaria, H.K., E.E. Ananto, K. Sulistiadji,Sutrisno, and R. Thahir. 1994. Development of stripping and threshing type harvester. Postharvest Technologies for Rice in the Humid Tropics, Indonesia. Technical Report Submitted to GTZ-IRRI Project. IRRI, Philippines. 38 pp.
Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem pemanenan padi  untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Siswoputranto, A. G., 1985. Teknologi Pascapanen. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BP Hortikultura. Lembang


PERHATIAN KEPADA PARA PEMBACA BAHWA TULISAN INI HANYA BISA DIJADIKAN REFERENSI DAN RUJUKAN DAN JANGAN DIJADIKAN BAHAN PLAGIAT DALAM TULISAN ANDA. 
BERKARYALAH DENGAN BIJAK!!!!!

Tulisan ini merupakan hasil dari
Karya Tulis Ilmiah Mawapres Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Tahun 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar