OPTIMIZATION OF
USE COMBINE HARVESTER TO HARVESTING OF RICE
Wahyu Aulia 1305106010057 Faculty of Agriculture, Departement of Agricultural
Engineering University of Syiah Kuala,
Banda Aceh
SUMMARY
Rice is one of
the most important food crops as a source of staple food for most people of
Indonesia. Handling harvest from the farm is an important starting point to
ensure increased income and welfare. There are several levels of rice harvest
handling is done cutting, threshing and packaging (bagging). A high percentage
of loss that occurs mainly on the stage of harvesting and threshing rice, is
expected to lose at that stage of greater than 9%.
Conditions rice
harvest time can be seen in two ways determination, namely:
(a) Visually, the
optimal harvesting of rice is achieved when 90 to 95% grains in rice panicle
already yellow or golden yellow. (b)While theoretically, be age appropriate rice harvest
is 30 to 35 days after flowering evenly or between135 to 145 days after
planting. And moisture content of grain moisture content reaches 22-23% in the
dry season, and between 24-26% in the rainy season.
Harvesting
equipment used by farmers today still with traditional tools such as the
ani-ani and develop into a sickle. The growing use of sickle it can eliminate
yield loss reaches 3-8%. Cutting is the modern way using a machine reaper. From
the reaper machine usage, provide a significant impact to squeeze the rice
harvest losses of less than 1%.
Handling process
after cutting is threshing. Traditionally rice threshed by gebot with scattered
losses are so great around 8-9% or use the pedal thresher which is
semi-mechanical with the result of shrinkage or loss of this instrument is
similar to how gebot ranges from 5-7%. while mechanically by the engine power
thresher employ diesel engines as the driving force, stressing the results of
shrinkage grain rice ranges from 1-2% also saves time and practical use that
does not require a lot of manpower and operator.
Combine
harvester machine rice harvest is capable of completing the job reap, threshing, separating, cleaning and sieving grain in one order.
Combine harvester, is able to reduce the number of shrinkage yields by 1 to 2
percent compared with the harvest without the combine (conventional) shrinkage
produced by 15-20%. Results harvesting of Combine harvester cut the rice stalks
from the base of the stem is then separated between trunks with grain and exit
in the form of grain.
Fewer farm workers
are needed in the operation of the combine harvester, only need one operator and farm
workers carrier harvest as much as 3-4 people. It can
threaten the other farm workers, especially women farm workers contributed
most.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Padi
adalah salah satu tanaman pangan yang sangat penting karena sebagai sumber
makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Penanganan panen yang
dimulai dari tingkat petani merupakan titik awal penting untuk menjamin
peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan mereka. Kegagalan penanganan panen padi pada tingkat petani ini dapat
mengakibatkan rendahnya mutu hasil dan tingginya tingkat susut atau kehilangan
hasil dan kerusakan gabah. Ada beberapa
tingkat penanganan panen padi yang dilakukan yaitu pemotongan, perontokan, dan
pengemasan (pengarungan).
Panen padi di Indonesia masih
didominasi oleh tenaga manusia dengan menggunakan curahan tenaga kerja yang
tinggi, kurang lebih 40% dari penggunaan total tenaga kerja orang untuk padi
sawah intensif (1200-1500 JO/ha). Disamping masalah tenaga kerja, masalah
budaya juga menyebabkan tingginya susut panen padi disawah, dimana angka susut
pasca panen adalah sekitar 20%. (Handaka, 2007)
Selama kurun
waktu 15 tahun kemudian, tingkat kehilangan hasil masih belum banyak berubah.
Pada tingkat produksi padi mencapai 50 juta ton gabah kering giling (GKG),
dapat diperkirakan bahwa jumlah kehilangan gabah menjadi kurang lebih 10 juta
ton tiap tahun. Proses kehilangan ini terjadi pada setiap tahapan produksi
padi, mulai dari panen, perontokan, pengeringan, pengangkutan, penggilingan dan
penyimpanan. Persentase kehilangan yang tinggi terutama terjadi pada tahapan
pemanenan dan perontokan padi, diperkirakan kehilangan di tahapan tersebut
lebih besar dari 9% (BPS, 1996).
Peralatan panen yang
dipergunakan oleh petani saat ini masih dengan alat-alat yang tradisional
seperti ani-ani dan berkembang menjadi sabit. Seiring dengan perkembangannya
varietas padi baru, pengunaan sabit berevolusi menjadi sabit yang bergerigi terbuat
dari bahan baja yang tajam. Dan berkembang lagi secara modern menggunakan mesin
reaper (Nugraha
dkk, 1990).
Lebih
lanjut, proses penanganan setelah pemotongan adalah perontokan. Dalam tahapan
ini, diperlukan tindakan yang serius karena pada tahapan perontokan susut
tercecer dan kehilangan banyak terjadi. Secara tradisional padi dirontokkan
dengan digebot atau menggunakan pedal thresher
yang secara semi-mekanis. Dengan perkembangan teknologi maka diciptakan mesin power thresher yang dikembangkan
berdasarkan konsep pedal thresher
yang masih memerlukan tenaga manusia sebagai tenaga penggerak sedangkan mesin power thresher menggunakan tenaga mesin
diesel sebagai tenaga penggerak.
Kementrian Pertanian
mencanangkan pentingnya mekanisasi pertanian. Dengan menargetkan peningkatan produktivitas
dan efisensi kerja, kualitas dan daya saing produk serta dapat menekan kehilangan
dan mengurangi ongkos produksi. Untuk itu pemerintah baik pusat maupun daerah
memberikan berbagai bantuan teknologi pertanian kepada para petani. Salah
satunya adalah pemberian mesin panen (combine
harvester)
Combine
harvester yang berguna untuk memotong
bulir tanaman padi yang berdiri, merontokkan dan mengarungkan gabah sambil
berjalan dilapangan. Dengan demikian waktu pemanen lebih singkat dibandingkan
dengan menggunakan tenaga manusia (manual) serta tidak membutuhkan jumlah tenaga
kerja manusia yang besar seperti pada pemanenan tradisional. Adanya pengadaan mekanisasi
pertanian terkhusus pada penanganan panen dapat membantu cepat menyelesaikan
kegiatan pasca panen.
Dengan kehadiran dari sistem mekanis dengan menggunakan Combine harvester maka memunculkan
permasalahan sosial-budaya memberikan dampak kepada buruh tani yang terancam
kehilangan sumber mata pencaharaiannya. Oleh karena itu, karya tulis diberi
judul Optimalisasi Penggunaan Combine
Harvester Terhadap Penanganan Panen Padi sehingga dengan penerapan yang
maksimum pada mesin tersebut dapat mengurangi susut dan kehilangan hasil dari
penanganan panen padi juga memberikan ulasan yang membantu permasalahan
sosial-budaya masyarakat buruh tani yang menitikberatkan kehidupan ekonomi pada
pertanian
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ini
adalah:
1.
Bagaimana hasil yang maksimum combine harvetser dibandingkan dengan
proses penanganan padi yang lain ?
2.
Bagaimana dampak yang terjadi atas kemunculan
penggunaan mesin combine harvester?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
1.
Menjelaskan kemampuan mesin combine harvster dalam
menangani kegiatan panen padi
2.
Menyebutkan dan menjelaskan dampak yang terjadi dari
kemunculan mesin combiner harvester
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari
penulisan karya tulis ini adalah:
1.
Bagi Penulis
Menambah
wawasan dan ulasan mengenai penanganan panen padi
2.
Bagi Pembaca
Mengetahui penanganan panen padi yang praktis dan
dapat meningkatkan hasil dan mutu gabah yang baik
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Tanaman Padi
Tanaman padi
sawah (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim dengan morfologi
berbatang bulat dan berongga yang disebut jerami. Daunnya memanjang dengan ruas
searah batang daun. Pada batang utama dan anakan membentuk rumpun pada fase
generative dan membentuk malai. Padi
adalah salah satu tanaman pangan yang sangat penting karena sebagai sumber
makanan pokok sebagaian besar masyarakat Indonesia.
1.1. Kriteria Panen Padi
Penentuan
saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi. Ketidaktepatan dalam
penentuan saat panen dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu
gabah/beras yang rendah. Penentuan saat panen dapat dilakukan berdasarkan
pengamatan visual dan pengamatan teoritis.
a.) Pengamatan
visual dilakukan dengan cara melihat kenampakan padi pada hamparan lahan sawah.
Berdasarkan kenampakan visual, umur panen optimal padi dicapai apabila 90
sampai 95 % butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning
keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah
berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi.
b.) Pengamatan
teoritis dilakukan dengan melihat deskripsi varietas padi dan mengukur kadar
air dengan moisture tester. Berdasarkan deskripsi varietas padi, umur
panen padi yang tepat adalah 30 sampai 35 hari setelah berbunga merata atau
antara 135 sampai 145 hari setelah tanam. Berdasarkan kadar air, umur panen
optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22 – 23 % pada musim kemarau,
dan antara 24 – 26 % pada musim penghujan
(Darmadjati, 1974).
Pemanenan waktu yang tepat akan menentukan kualitas dan
kuantitas bulir padi yang dipanen. Panen yang terlalu cepat dari waktu yang
telah ditentukan akan menimbulkan besarnya presentase bulir padi warna hijau
dan mengakibatkan bulir berisi kosong dan rusak saat digiling. Jika panen
terlalu lama mengakibatkan hasil padi akan berkurang dan terlepas dari malai
serta tercecer disawah.
1.2. Sistem Panen Padi
Proses pemanenan merupakan tahapan kegiatan
yang dimulai dari pemotongan padi hingga perontokan gabah. Dalam sistem panen tersebut
secara garis besar dipengaruhi oleh mekanisme panen itu sendiri dan proses
pemanenan. Mekanisme panen sangat terkait dengan budaya serta kebiasaan
masyarakat setempat, terdapat tiga sistem pemanenan padi yang berkembang di
masyarakat yaitu sistem ceblokan, sistem individu atau keroyokan dan sistem
kelompok.
Pada sistem ceblokan pemanenan dilakukan dengan jumlah pemanen yang
terbatas. Pemanen ikut dalam proses pemanenan dan merawat tanaman tanpa mendapatkan
upah dari pemilik sawah. Pada sistem
ceblokan, orang lain tidak boleh ikut panen tanpa seijin penceblok. Pada sistem
individu atau keroyokan, jumlah pemanen tidak terbatas (150-200 orang per ha)
tanpa ikatan kerja antara yang satu dengan lainnya. Jumlah pemanen cukup banyak sehingga berebut panen dan mengumpulkan
potongan padi secepatnya agar dapat segera pindah ke sawah yang lain. Akibatnya
banyak gabah yang rontok dan potongan padi yang tercecer. Pada panen sistem kelompok
jumlah pemanen terbatas (20-30 orang per ha), bekerja secara beregu, pembagian
tugas jelas dan perontokan menggunakan pedal threser atau power therser (Setyono dkk, 1993).
Sistem panen tersebut sangat terkait
dengan faktor sosial dan budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya
mempengaruhi pada tahapan selanjutnya berupa kegiatan perontokan serta faktor
kehilangan hasil. Pemanenan padi sistem individual atau keroyokan dengan jumlah
pemanen yang tidak terbatas menyebabkan banyak gabah tercecer dan yang tidak
terontok. Pemanenan padi dengan sistem kelompok atau beregu mudah terkontrol,
sehingga dapat menekan tingkat kehilangan hasil panen (Ananto dkk,
2003).
1.3. Proses Pemanenan Padi
Saat ini perkembangan varietas
padi yang ditanaman merupakan varietas unggul baru yang memiliki kelemahan yang
mudah rontok, jumlah batang atau anakan banyak, menyebabkan kehilangan dan
perontokan yang tinggi saat dipanen. Penanganan yang tidak tepat dapat
menimbulkan susut atau kehilangan.
Dengan
diintroduksikannya varietas unggul padi maka terjadi perubahan penggunaan alat
panen dari ani-ani ke sabit biasa atau sabit bergerigi (Nugraha dkk. 1990). Panen
padi di Indonesia secara umum dilakukan dengan 2 cara yaitu, secara manual menggunakan sabit. Sabit umumnya digunakan petani untuk memanen dengan potong
pendek pada bagian atas tanaman dekat malai, cara pemotongan tersebut berguna
untuk dirontokkan dengan gebot atau pedal thresher.
Sedangkan potongan panjang atau menggunakan mesin reaper pada bagian bawah dekat tanah tanaman berguna agar lebih
mudah saat dirontokkan dengan mesin power
thresher dengan metode throw in dan
hold on.
Perontokan bertujuan untuk melepaskan gabah
dari malainya, dengan cara memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai (Mejio,
2008) dan dilakukan dengan cara manual
dan mekanis. Perontokan manual atau disebut gebot dilakukan dengan memukul dan
membanting malai padi pada benda yang lebih keras hingga gabah terlepas dari
malainya. Namun, perontokan semi-mekanis juga ada dimanfaatkan petani tetapi
membutuhkan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Untuk perontokan secara
mekanis dilakukan dengan mesin power thresher, sehingga petani lebih
memilih menggunakan mesin perontok karena dianggap praktis dan efektif.
2.5. Combine Harvester
Dalam
dekade terakhir telah berkembang penggunaan mesin pemanen. Hal ini sejalan
dengan upaya untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja di pedesaan. Mesin panen
yang diintroduksikan antara lain stripper, reaper, dan combine
harvester. Kapasitas kerja stripper dan reaper masing-masing
17 jam/ha, sedangkan combine harvester 5,05 jam/ha (Purwadaria dkk. 1994).
Combine
harvester adalah mesin panen padi yang serba komplit dan canggih dalam
pengoperasiannya. Combine harvester dapat bekerja cepat pada areal sawah yang luas. Waktu yang
dibutuhkan untuk memanen padi relatif singkat. Combine harvester dilengkapi dengan alat pemotong, perontok, dan
mengarungkan padi dalam suatu proses kinerja saja (Hasibuan, 1999).
Pada tahapan
proses kerja dari alat combine harvester, tujuan akhir dari operasi
pemanenan dan perontokan adalah untuk memperoleh biji yan bebas dari kotoran dan
sisa-sisa tanaman, dengan susut yang minimum, kerusakan eksternal minimum dan
kerusakan internal minimum, jika biji-biji dipakai untuk bibit. Menurut
Daywin dkk
(2008), ada lima operasi dasar yang dikerjakan oleh sebuah combine untuk
menghasilkan biji yang bersih, yaitu ;
1.
Memotong (mengangkat
dari windrow)
2.
Mengangkat dan
memasukkan bahan yang telah dipotong kedalam mekanisme thresher
3.
Merontok atau melepaskan
biji dan malai atau jerami
4.
Memisahkan biji dan jerami dari sisa-sisa
tanaman lainnya.
5.
Membersihkan biji dari
sisa-sisa tanaman dan kotoran-kotoran lainnya.
Pada kondisi
operasi yang normal sebagian besar dari biji yang dirontok, dipisahkan
dari jerami pada unit perontok yang jatuh melalui lubang-lubang pada concave dan
pembersihan bahan-bahan sisanya terjadi pada straw carrier, pada waktu jerami
bergerak kearah belakang mesin
BAB III. ANALISIS DAN SINTESIS
Kegiatan
panen padi merupakan serangkaian kegiatan yang dimulai dari proses pemotongan
hingga pengarungan kedalam karung. Penentuan umur panen padi sangat perlu
diperhatikan karena berhubungan dengan
mutu gabah yang baik dan tidak mudah rusak saat diproses menjadi beras.
Waktu optimum untuk melakukan pemanen padi dikondisikan saat padi sudah
menguning atau disesuaikan dengan waktu tanam padi berdasarkan varietasnya.
Masalah
utama kegiatan panen padi dititikberatkan pada 3 tahapan yaitu, pemotongan,
perontokan, dan pengemasan (pengarungan) dimana pada ketiga tahapan tersebut
sering terjadinya kehilangan atau susut tercecer saat kegiatan berlangsung. Kehilangan
panen padi saat pemotongan bisa mencapai 9 % dan pada tahapan perontokan
mencapai 5% dan pengarungan sekitar 1% kehilangan yang terjadi.
Maka dari itu, diperlukan
perbaikan dan modifikasi peralatan pada ketiga tahapan tersebut sehingga dapat
meminimumkan kehilangan yang terjadi. Namun, kegiatan tersebut kurang
diperhatikan oleh para petani karena minimnya pengetahuan kegiatan panen yang
sesuai dan terkesan membiarkan kehilangan hasil panen yang dilakukan.
Hasil survei pada tahun
1992 menunjukkan adanya dua sistem pemanenan padi yang berkembang di petani,
yaitu (1) sistem individu atau keroyokan, dan (2) sistem ceblokan. Pada kedua
sistem panen ini selalu terjadi penundaan perontokan gabah di sawah selama 1-3
hari tanpa alas. Hal ini menyebabkan kehilangan hasil 1- 3% karena gabah
rontok. Kedua sistem panen tersebut dikerjakan oleh tenaga pemanen yang tidak
terkendali sehingga mengakibatkan banyak gabah yang rontok rata-rata 6,1%. Oleh
karena itu, dikembangkan sistem pemanenan padi secara kelompok.
Hasil penelitian
menunjukkan, pemanenan dengan sistem kelompok menurunkan tingkat kehilangan
hasil padi menjadi 5,9%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan cara keroyokan
18,9%. Pemanenan padi sistem kelompok dapat menekan kehilangan hasil dari 18,8%
pada cara keroyokan menjadi 3,8%.
3.1. Teknologi
Panen Padi
Setelah ditentukan waktu panen, tahapan awal pemotongan padi yang secara
tradisional menggunakan ani-ani kemudian berkembang menggunakan sabit biasa
atau sabit bergerigi. Berkembangnya penggunaan sabit ternyata dapat
menghilangkan kehilangan hasil mencapai 3-8%. Namun, hal tersebut masih menjadi
kategori kehilangan yang cukup besar dan dapat mempengaruhi susut hasil pada
proses perontokan. Seiring dengan perkembangan teknologi, penerapan mekanisasi
pertanian tidak luput pada proses pemotongan dengan menggunakan mesin reaper.
Munculnya
mesin reaper didasarkan pada prinsip
kerja penggunaan sabit, bekerja dengan memotong dan merebahkan tegakan padi di
sawah. Mesin ini bergerak maju dengan menerjang dan memotong tegakan serta
menjatuhkan hasil potongan kesamping kanan. Dari penggunaan mesin reaper, memberikan dampak yang
signifikan dengan menekan hasil susut panen padi kurang dari 1%. Hasil
pemotongan secara mesin ini kemudian dirontokkan dengan menggunakan mesin power thresher.
3.2. Teknologi
Perontokan Padi
Dalam kegiatan perontokan padi saat ini terdiri dari tiga cara perontokan,
yaitu secara tradisional atau gebot, secara semi-mekani dengan pedal thresher, dan secara mekanis menggunakan
mesin power thresher. Hasil
pemotongan menggunakan sabit dengan potongan panjang (dekat tanah) dirontokkan
dengan cara gebot dengan memukul atau membanting tangkai padi pada benda keras
(kayu, drum, dan lain-lain) hingga gabah terlepas dari malainya. Dengan
kapasitas kerja 55-60 kg/jam/orang susut tercecer yang terjadi sangat besar
berkisar 8-9%.
Perontokan dengan gebot sudah ditinggalkan para petani,
karena membutuhkan tenaga yang besar dan juga hasil susut yang relatif besar
membuat para petani meninggalkan cara ini dan lebih menggunakan mesin power
thresher.
Selain
itu, inovasi perontokkan berubah menggunakan pedal thresher dimana penerapan teknologi ini masih menggunakan tenaga
manusia sebagai tenaga penggeraknya. Aplikasi alat ini banyak digunakan para
petani yang minim modal, dikarenakan alat ini dapat dibuat sendiri menggunakan
bahan kayu dan sebagainya sehingga tidak mengeluarkan modal yang cukup banyak.
Hasil susut atau kehilangan alat ini hampir sama dengan cara gebot berkisar
5-7% yang terjadi dengan kapasitas kerja sebesar 90-120 kg/jam
Setelah
dicanangkannya program mekanisasi pertanian oleh pertanian sejak masa Revolusi
Hijau, maka kegiatan perontokan berubah secara mekanis dengan memanfaatkan
tenaga mesin. Mesin power thresher
merupakan mesin yang berfungsi sebagai perontok padi. Selain menekankan hasil
susut gabah padi berkisar 1-2% juga menghemat waktu dan praktis penggunaannya
yang tidak membutuhkan banyak operator dan tenaga manusia. Mesin power thresher banyak digunakan dan
dijumpai di areal persawahan saat kegiatan pemanenan berlangsung.
3.3. Combine
Harvester
Combine harvester adalah mesin panen padi yang mampu menyelesaikan pekerjaan
menuai, merontok, memisahkan, membersihkan, dan mengayak gabah dalam satu
urutan. Strukturnya
kompak, mobilitas tinggi, stabil, andal, ekonomis, dan kuat aksesibilitasnya ke
lahan sawah, serta mesin ini hemat bahan bakar. Untuk mengoperasikan alat
bermesin diesel 25 PK hanya membutuhkan solar 6,5 l/ha. Combine harvester
memiliki keterbatasan, yaitu sulit bekerja pada lahan dengan kedalaman
lumpur 20 cm atau lebih dan kurang berfungsi efektif pada lahan dengan
kemiringan tinggi. Di samping itu, tanaman padi yang akan dipanen tidak boleh
basah untuk mencegah kemacetan di dalam sistem perontokan.
Hasil menjelaskan, penggunaan combine harvester bisa sangat menghemat
waktu petani. Pemakaian combine harvester ukuran kecil saja hanya memakan waktu
4-5 jam per hektar. Jika dibanding panen dengan tenaga manusia, bisa memakan
waktu seharian. Kelebihan lain combine
harvester, mampu menekan angka susut hasil panen sebesar 1 sampai 2
persen. Jika panen konvensional akan terjadi susut hasil mencapai
15-20 persen. Selain itu, sudah
bersih terpotong hingga pangkal batang sehingga memperkecil kehilangan hasil
panen dibanding menggunakan parang atau arit. Dengan combine harvester, batang padi yang dipanen langsung terpotong
hingga pangkal batang. Lalu dipisahkan antara batang dengan gabah dan keluar
dalam bentuk gabah.
3.4. Permasalahan
Sosial-Budaya
Panen
padi menggunakan combine harvester membutuhkan
2-8 orang tenaga kerja dalam 1 ha luasan panen. Satu orang operator, 1-3 orang
asisten operator dan sisanya membantu angkut karung gabah ke mobil pengangkut.
Dengan dibutuhkan buruh tani yang sedikit maka dapat mengancam para buruh tani
yang lain terutama para buruh panen perempuan yang kebanyakan turut andil.
Selain itu, pemadatan tanah lahan sawah menjadi besar sehingga diperlukan biaya
yang lebih besar untuk mengolah lahan akibat pemadatan. Kemunculan combine harvester juga mengakibatkan
pemilik mesin power thresher kehilangan
penyewa.
Dengan
permasalahan tersebut, pemerintah oleh kementrian pertanian sebaiknya
memberikan hal yang solutif tanpa mengurangi dan menghentikan penggunaan combine harvester. Para buruh tani
diberikan sosialisasi dan pengarahan berkaitan dengan kelompok atau paguyuban
buruh tani, dimana keberadaan mereka tidak terancam melainkan sebagai mediator
dengan memberikan bantuan atau kredit untuk membeli mesin combine harvester untuk disewakan. Dan pemilik dan penyewa mesin power thresher juga bisa berperan dan
bekerja sama dengan buruh tani.
BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
1. Hasil pemanen secara tradisional mengakibatkan susut yang
terjadi pada gabah padi sebesar 15-20 persen dan sangat berbeda jauh jika
penerapan mesin panen combine harvester susut
berkurang menjadi 1-2 persen
2. Pemanenan secara tradisional seperti menggunakan sabit
dan ani-ani bisa menyelesaikan kegiatan panen seharian atau lebih dengan
penggunaan mesin panen combine harvester
mampu menyelesaikan dalam jangka waktu 4-5 jam per hektar.
3. Kondisi lahan yang sesuai untuk mesin panen combine harvester dengan kedalaman
berkisar 20 cm, tetapi akan lebih efektif jika lahan sawah dalam keadaan kering
dan tidak berlumpur
4. Resiko penggunaan mesin panen combine harvester mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi
buruh tani, menghilangkan usaha penyewaan mesin power thresher juga terjadinya pemadatan tanah akibat tekanan dari
mesin panen combine harvester
4.2
Rekomendasi
1. Kegiatan panen padi dari pemotongan sampai pengarungan
akan lebih praktis menggunakan combine
harvester. Jika penggunaan mesin power
thresher mampu menekan susut hasil yang sama tetapi penggunaan combine
harvester dapat bekerja sekaligus dari pemotongan, perontokan, dan
pengarungan.
2. Pemerintah mengarahkan dan membimbing serta memberikan
bantuan atau perkreditan kepada buruh tani sebagai fasilitator combine harvester untuk disewakan kepada
pemilik lahan atau sawah
DAFTAR
PUSTAKA
Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno,
2003. Panduan Teknis Penanganan Panen dan
Pascapanen Padi dalam Sistem Usaha Tani Tanaman Ternak. Puslitbangtan
Press. Bogor
Biro Pusat Statistik, 1996. Survei susut pascapanen MT 1994/95 dan MT 1995. Kerjasama BPS,
Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog-bapenas, IPB, dan Badan
Litbang Pertanian.
Damardjati, D.S., 1974. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza
sativa L.) terhadap sifat dan mutu beras. Thesis MS Institut
Pertanian Bogor.
Daywin, F. J., R. G. Sitompul dan Imam
Hidayat, 2008. Mesin-Mesin Budidaya
Pertanian di Lahan Kering. Graha Ilmu. Yogyakarta
Hasibuan, F., 1999. Kajian Teknis dan Ekonomis Pemakaian Head Feed Combine Harvester (CA
385 EG) Di Daerah Sukamadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Press. Bogor
Handaka dan Joko Pitoyo, 2007. Evaluasi Sifat Mekanis Tanah Untuk Mekanisasi
Panen Padi Sawah (studi kasus di Sukamandi). Jurnal Enjiniring Pertanian
Vol V, No 2 Hal 81-87. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor
Mejio, D.J. 2008. An
overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing
losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering
Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p.
1-16.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damarjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap
kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89. Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Purwadaria, H.K., E.E.
Ananto, K. Sulistiadji,Sutrisno, and R. Thahir. 1994. Development of stripping and threshing type harvester. Postharvest Technologies for Rice in the Humid
Tropics, Indonesia. Technical Report Submitted to GTZ-IRRI Project. IRRI, Philippines. 38 pp.
Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Siswoputranto, A. G., 1985. Teknologi Pascapanen. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
BP Hortikultura. Lembang
PERHATIAN KEPADA PARA PEMBACA BAHWA TULISAN INI HANYA BISA DIJADIKAN REFERENSI DAN RUJUKAN DAN JANGAN DIJADIKAN BAHAN PLAGIAT DALAM TULISAN ANDA.
BERKARYALAH DENGAN BIJAK!!!!!
Tulisan ini merupakan hasil dari
Karya Tulis Ilmiah Mawapres Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar