22 November 2018

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB) Dengan Bahan Bakar Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BIOMASSA (PLTB) DENGAN BAHAN BAKAR LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

Oleh: Wahyu Aulia, S.TP

A.  PENDAHULUAN
Kebutuhan energi listrik merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan masyarakat. Persoalan krisis energi listrik menjadi hal besar yang dihadapi oleh pemerintah. Kebutuhan energi listrik yang meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik sehingga terjadi defisit energi listrik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, tingkat pemakaian bahan bakar sebagai pembangkit listrik terutama bahan bakar fosil (konvensional) didunia mengalami kelangkaan dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis bahan bakar.

Diperkirakan pada 2040, pembauran energi global akan menjadi yang paling beragam yang pernah ada di dunia, dengan minyak, gas, batubara, dan bahan bakar non-fosil masing-masing berkontribusi sekitar satu perempat dari total bauran. Kajian itu juga menunjukkan bahwa pada tahun 2040, energi terbarukan tumbuh lebih dari 400 persen dan berkontribusi lebih dari 50 persen pertumbuhan pembangkit listrik dunia (Industry.co.id, 2018).

Selain itu, kesadaran manusia akan lingkungan semakin tinggi sehingga muncul kekhawatiran meningkatnya laju pencemaran lingkungan terutama polusi  udara yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar tersebut, sehingga muncul sebuah pemikiran penggunaan energi alternatif yang bersih. Beberapa jenis sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan antara  lain: energi matahari, energi angin, energi panas bumi, energi panas laut (OTEC) dan energi biomassa.

Energi biomassa merupakan sumber energi alternatif yang perlu mendapat prioritas dalam pengembangannya dibandingkan dengan sumber energi yang lain. Energi biomassa dapat menjadi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil karena sifatnya yang dapat diperbaharui (renewable resources), dan relatif tidak mengandung unsur sulfur sehingga tidak menyebabkan polusi udara dan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan dan pertanian (Widarto dkk, 1995).

Indonesia menjadi negara produksi terbesar minyak sawit (Crude palm oil/CPO) dunia dengan hasil 28 juta ton. Produksi CPO Indonesia hampir 50% dari total produksi dunia memiliki potensi industri kelapa sawit yang kian prospektif yang menjadi sumber devisa negara dalam memproduksi minyak kelapa sawit. Peningkatan luas dan produksi perkebunan kelapa sawit telah mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan, diantaranya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menghasilkan CPO. PKS merupakan industri yang sarat dengan residu pengolahan dan hanya menghasilkan 25-30 % produk utama berupa 20-23 % CPO dan 5-7 % inti sawit (kernel). Sementara sisanya sebanyak 70-75 % adalah residu hasil pengolahan berupa limbah (Sudiyani dkk, 2010).


Limbah pengolahan kelapa sawit umumya menghasilkan limbah cair, limbah padat dan limbah gas. Pada limbah padat yang dihasilkan salah satunya adalah Tandan kosong Kelapa Sawit (TKKS) yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan (renewable energy). Pembusukan TKSS juga menyebabkan terproduksinya lindi (leachate) yang dapat mengakibatkan pencemaran air tanah dan air permukaan. Melihat potensi pencemaranya terhadap lingkungan maka limbah TKKS harus dikelola secara bijaksana. (Rahmawati, 2011). Pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar pembangkit listrik dilakukan dengan menggunakan proses gasifikasi sehingga menjadi pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTB).

B.  PEMBAHASAN
Permasalahan dalam memanfaatkan limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah mengoptimalkan pemanfaatan limbah tersebut sehingga menjadi lebih efisien dan menghasilkan nilai ekonomis tinggi. TKKS merupakan bagian dari produk sampingan (by-product) dalam bentuk padatan dari pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit  berdasarkan rerata nisbah produksi tandan kosong kelap sawit terhadap jumlah total tandan buah segar (TBS) yang diolah.

Setiap pengolahan 1 ton TBS akan dihasilkan TKKS sebanyak 22–23% atau sebanyak 220–230 kg TKKS (Hambali, 2007). Namun hingga saat ini, pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit belum digunakan secara optimal. Sebagian besar pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia masih membakar TKKS dalam incinerator yang telah dilarang oleh pemerintah. Selain itu, limbah padat tandan kosong dilakukan dengan menimbun (open dumping), penyubur tanaman sawit sebagai pupuk, atau diolah menjadi kompos dan briket. Bagaimanapun juga, pengembalian bahan organik kelapa sawit ke tanah akan menjaga pelestarian kandungan bahan organik lahan kelapa sawit demikian pula hara tanah jika penanganan yang tidak sesuai tentu mengakibatkan pencemaran air dan tanah. Limbah padat TKKS yang dikonversi sebagai energi bahan bakar pembangkit listrik memberikan manfaat secara luas sebagai penyuplai energi listrik di pabrik dan masyarakat.

1.    Pemanfaatan Limbah Sebagai Energi Listrik
Limbah tandan kosong kelapa sawit merupakan biomassa bahan baku padat atau biomassa padat. Biomassa sebenarnya sudah dikonversi menjadi energi sejak beberapa abad lalu, namun penerapanannya masih sangatlah sederhana yang mana biomassa langsung dibakar untuk menghasilkan panas. Namun seiring perkembangan zaman, panas yang dihasilkan oleh pembakaran biomassa telah digunakan untuk menghasilkan uap dalam boiler. Uap ini digunakan untuk memutar turbin yang mana nantinya menggerakkan generator untuk menghasilkan energi listrik. Biomassa dapat dimanfaatkan untuk memproduksi energi salah satunya melalui proses termokimia contohnya pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran. Perbedaan jenis konversi energi tersebut terletak pada banyaknya suplay oksigen saat konversi berlangsung sedangkan pirolisis cenderung tidak membutuhkan oksigen pada prosesnya. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dengan pemanfaaan limbah tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan menggunakan konversi energi secara gasifikasi.

Proses gasifikasi terdiri dari empat tahapan proses atas dasar perbedaan rentang kondisi temperatur, yaitu pengeringan (T > 150 °C), pirolisis (150 °C  < T < 700 °C), oksidasi (700 °C < T < 1500 °C), dan reduksi (800 °C < T < 1000 °C) (Siregar, 2016). Gasifikasi merupakan proses pembakaran tidak sempurna bahan baku padat biomassa yang melibatkan reaksi antara oksigen secara terbatas dengan bahan bakar padat berupa biomassa. Hasil pembakaran biomassa yang berupa uap air dan karbon dioksida direduksi menjadi gas yang mudah terbakar, yaitu hidrogen (H2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Gas-gas produksi ini disebut dengan synthetic gas atau syngas. Salah satu jenis gasifier yang sederhana dan banyak digunakan yaitu jenis downdraft gasifier. Keuntungan yang didapat dari menggunakan reactor gasifikasi tipe downdraft yaitu gas yang dihasilkan lebih bersih dibandingkan tipe lainnya. Gasifikasi tipe downdraft dapat diaplikasikan sebagai pembangkit daya, seperti daya listrik atau mesin (Purnomo, 2012). Teknologi gasifikasi sangat layak digunakan terutama memiliki sumber biomassa yang banyak seperti di Pabrik Kelapa Sawit.

Gambar 1. Skema Proses Gasifikasi


Telah diketahui sebelumnya bahwa proses gasifikasi memiliki empat tahapan proses dimana proses tersebut terjadi pada tabung reaktor. Di dalam reaktor tersebut terjadi empat proses yang berbeda yang berlangsung sekaligus dalam prosesnya. Uraian proses tersebut dirincikan sebagai berikut:
1. Pengeringan yaitu kandungan air yang ada dalam biomassa diekstrak dalam bentuk uap tanpa adanya dekomposisi kimia dari biomasa.
2.  Pirolisis, Setelah pengeringan dilakukan, bahan bakar akan turun dan menerima panas sebesar 250-500°C dalam kondisi tanpa udara. Pirolisis dimulai dari dekomposisi hemiselulosa pada 200-250, dekomposisi selulosa sampai 350°C, dan pirolisis berakhir pada 500°C. Selanjutnya pengarangan berlangsung pada 500-900°C, yang terjadi pada batas zona pirolisis dan oksidasi. Produk dari proses ini terbagi menjadi produk cair (Tar dan PAH), produk gas (H2, CO, CO2, H2O, CH4), tar dan arang.1.     
3.    Pembakaran adalah proses untuk menghasilkan panas yang memanaskan lapisan karbon dibawah. Arang yang terbentuk dari ujung zona pirolisis masuk keoksidasi, selanjutnya dibakar pada temperatur operasi yang cukup tinggi 900-1400°C. Distribusi oksigen yang merata akan menyempurnakan proses oksidasi sehingga dihasilkan tempe-ratur maksimal dalam keseluruhan proses gasifikasi. Sekitar 20% arang beserta volatil teroksidasi dengan memanfaatkan O2 yang terbatas, sisa 80% arang turun kebawah menuju bagian reduksi yang hampir semuanya akan dipakai, menyisakan abu yang jatuh ke tempat pembuangan.
4.  Reduksi adalah Proses yang bersifat mengambil panas yang berlangsung pada suhu 400- 900°C. Pada proses ini terjadi beberapa reaksi kimia yang merupakan proses penting terbentuknya beberapa senyawa yang berguna untuk menghasilkan combustible gas seperti H2, CO, CH4 atau yang dikenal dengan producer gas.

Gambar 2. Tabung Reaktor Gasifikasi



  Producer gas dari gasifikasi biomassa hasil dari proses pemurnian (syngas) dapat dijadikan sebagai bahan bakar mesin pembakaran internal penggerak (diesel maupun bensin) generator listrik. Pada mesin bensin dapat dioperasikan menggunakan injeksi syngas tanpa bensin. Sedangkan pada mesin diesel, syngas tidak dapat dipakai 100%, karena suhu dan tekanan di dalam silnder tidak dapat menyalakan campuran udara dan syngas. Selama injeksi campuran udara dan syngas diperlukan injeksi solar sebagai pemantik. Pemakaian syngas pada mesin diesel mampu mensubtitusi kebutuhan solar hampir 70%. Daya listrik yang dihasilkan tergantung pada generator listrik yang digunakan semakin besar spesifkasi daya mesin maka semakin besar daya listrik yang dihasilkan. Tetapi, perlu disesuaikan kapasitas gasifikasi dengan daya listrik dibutuhkan.


2.    Realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa
Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar biomassa dapat dijadikan sumber energi listrik di pabrik PKS tidak hanya mampu menyediakan energi sendiri untuk pabrik juga mampu mengurangi emisi pembakaran. Pengurangan emisi dikarenakan pembakaran tandan kosong kelapa sawit mengasilkan emisi yang lebih sedikit bahkan hampir mendekati nol dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Selain itu, pemabakaran tersebut dapat menghindari timbulnya gas metana dari penumpukan tandan kosong kelapa sawit.
Penerapan biomassa tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa (PTLB) setidaknya memberikan dampak dalam pengurangan energi fosil terutama sebagai pembangkit listrik. Studi lebih lanjut mengenai pemanfaatan biomassa tandan kosong sebagai bahan bakar PLTB melalui proses gasifikasi menjalankan mesin pembangkit listrik (generator) dengan berkapasitas 50 kW dan bisa mengangkat beban hingga 40 kW atau efisiensi 80% selama enam jam. Kapasitas daya yang dihasilkan sebesar 40 kW dapat membantu kebutuhan energi untuk 80 kepala keluarga dengan konsumsi rerata per satu kepala keluraga sebesar 450 watt. Tentu potensi tersebut memberikan pemerintah untuk bisa membuat kebijakan dalam upaya pemerataan listrik.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan tertinggi sudah saatnya untuk lebih memanfaatkan melihat peluang tersebut. Selain sebagai upaya penghematan dan penggunaan energi bersih juga mampu melakukan pemerataan energi listrik disetiap daerah yang minim dan tidak terjangkau dengan aliran listrik. Potensi biomassa terutama tandan kosong kelapa sawit yang banyak dihasilkan dari pengolahan pabrik PKS, sebaik mungkin segera direalisasikan sebagai pasokan energi secara mandiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah seharusnya menegaskan kepada perusahaan kelapa sawit dalam pengolahaan limbah padatnya untuk dikonversi menjadi energi listrik. Upaya tersebut tentu memberikan dampak yang sangat besar, dikarenakan banyak pabrik PKS masih menggantungkan diri untuk menyuplai energi listrik berasal dari perusahan listrik negara (PT. PLN Persero). Alhasil, banyak energi listrik tersebut dialihkan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat atau disalurkan kepada masyarakat yang masih membutuhkan.
kebijakan pemerintah melalui berbagai kementerian terkait perlu dipastikan benar-benar mendukung investasi energi baru dan terbarukan yang selama ini dinilai belum optimal dalam pengembangannya. Pemerintah sebaiknya berupaya untuk memberikan penekanan terhadap perusahaan lain non-industri perkebunan untuk berpartisipasi. Program Corporat Social Responsibility (CSR) merupakan program tanggung jawab sosial sebuah perusahaan dalam mensejahterakan masyarakat. Progam tersebut yang sangat strategis dapat diaplikasikan sebagai salah satu cara membantu masyarakat dalam memasok energi listrik dengan pembangkit listrik tenaga biomassa. Pemerintah setidaknya mewajibkan kepada perusahaan untuk menggunakan dana CSR untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan energi listrik secara merata, meskipun hanya sekali dalam setahun. Maka dari itu, dapat dipastikan bahwa Indonesia sebagai negara Agraris mampu memanfaatkan potensinya untuk mandiri dalam penggunaan energi alternatif

C.  PENUTUP.
Krisis energi dunia yang sedang menjadi isu terkini telah memberikan dampak-dampak yang mengkhawatirkan terutama penggunaan energi bidang kelistrikan. Upaya dan kajian energi yang telah banyak dilakukan bermaksud untuk melakukan pemanfaatan energi selain dari energi fosil. Energi alternatif merupakan solusi terbaik untuk mengatasi krisis energi tersebut. Kesadaran masyarakat merasa khawatir terhadap pencemaran lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, maka dari itu harapan yang dinanti akan adanya perubahan penggunaan energi selain energi fosil. Limbah padat tandan kosong kelapa sawit dapat dijadikan bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTB) melalui proses gasifikasi, potensi listrik yang dihasilkan mampu memenuhi kekurangan atau mengganti energi listrik dalam industri dan rumah tangga. Upaya pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dilakukan menghasilkan keuntungan yang sangat baik yaitu: mengentas krisis energi secara mandiri, penanggulangan limbah padat dan menghasilkan energi alternatif.

    DAFTAR PUSTAKA
  
     Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka. Bogor.

Industry.co.id. 2018. Opini: Seiring Bertambahnya Kebutuhan Energi Global, Peran Energi Terbarukan Akan Semakin Meningkat. http://www.industry.co.id/read/26852/seiring-bertambahnya-kebutuhan-energi-global-peran-energi-terbarukan-akan-semakin-meningkat. Diakses tanggal : 5 Maret 2018
.
Purnomo, C, W. 2012. Prinsip Dasar Gasifikasi Biomasa. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik. UGM Press. Yogyakarta.

Rahmawati, D. 2011. Pengaruh Kegiatan Industri Terhadap Kualitas Air Sungai Diawak Dibergas Kabupaten Semarang dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air Sungai. http://www.eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 4 Maret 2018.

Siregar, K., Sholihati., Syafriandi. 2016. The Potential Application of Gasification for Biomass Power Generation in Isolated Area from National Electricity Company in Indonesia. Internasional Journal of Engineering Research and Applications. Vol. 6, pp.09-16.

Sudiyani, Y., Heru, R. & Alawiyah, S. 2010. Pemanfaatan Biomassa Limbah Lignoselulosa untuk Bioetanol sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan. Ecolab. 4(1), 1-54.

    Widarto. 1995. Membuat Bioarang Dari Kotoran Lembu. Kanisius.Yogyakarta.

KEPADA PARA PEMBACA AGAR TIDAK MEMPLAGIASI TULISAN INI AKAN TETAPI DAPAT DIJADIKANSEBAGAI REFERENSI DAN RUJUKAN. 
BERKARYALAH DENGAN BIJAK!!!!

Tulisan ini merupakan hasil dari karya:
LOMBA ESSAI NASIONAL BIODIVERSITAS 2018
DENGAN TEMA: KITA UNTUK BUMI HARI INI, ESOK DAN NANTI

Sub Tema:
Penerapan Ilmu Sains dan Teknologi Sebagai Pengendali Pencemaran Lingkungan




20 November 2018

Mekanisasi Pertanian : STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA MENGHADAPI MEKANISASI PERTANIAN


STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA MENGHADAPI 
MEKANISASI PERTANIAN

Oleh: Wahyu Aulia, S.TP

PENDAHULUAN

Pemanfaatan Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) di Indonesia telah dimulai sebelum terjadi Perang Dunia II. Hal tersebut ditandai dengan penggunaan mesin pengolahan hasil pertanian pada komoditi tanaman pangan dan perkebunan terkhusus pada produksi gula dan karet sejak masa transisi kemerdekaan. Pemanfaatan alat dan mesin pertanian tersebut didatangkan dari luar negeri dalam bentuk alsintan pra panen dan pasca panen yang kebanyakan berasal dari negara Eropa, Amerika, Jepang dan negara Asia lainnya. Perkembangan tersebut meningkatkan permintaan akan Alsintan yang telah mendorong para pengusaha maupun pengusaha baru bertekad menginvestasikan finansial untuk meningkatkan produksi pada industri tersebut (Pramudya, 1996).

Pada saat dimulainya Pelita I perkembangan mekanisasi pertanian terlihat semkain baik karena pada saat itu adanya masukan teknologi yang lebih nyata. Masuknya Alsintan ke Indonesia memiliki berbagai kendala dalam penerapannya di lahan pertanian Indonesia serta menyulitkan para petani untuk mengoperasikannya. Kendala yang dimaksud lebih cenderung pada aspek sosial yang menjadi perhatian pemerintah. Munculnya konsep mekanisasi pertanian selektif yang merupakan perencanaan pemerataan Alsintan sesuai dengan potensi dan kemampuan dalam suatu wilayah sehingga terjadinya ketidakseragaman baik dari segi jenis maupun laju perkembangannya. Alhasil, puncak pertumbuhan dan perkembangan Alsintan terjadi pada Pelita III dan Pelita IV di era rezim Soeharto yaitu swasembada pangan. Peningkatan Alsintan mendorong pemerintahan untuk membuat kebijakan atas usaha untuk melindungi dan mempertahankan industri di dalam negeri. Kebijakan yang dilakukan mengandalkan penggunaan yang intensif produk Alsintan dalam negeri serta meningkatkan komponen dan suku cadang dalam negeri untuk mengurangi penggunaan impor dari luar negeri. Konteks kebijakan tersebut tentu mampu memberikan tolok ukur kemandirian industri terutama bidang mekanisasi pertanian. Dalam pelaksanaan untuk mengembangkan mekanisasi pertanian tidak dapat berdiri sendiri yang merupakan bagian dari sub sistem penunjang (supporting system) dalam proses pemanfaatannya. Mekanisasi pertanian yang bersifat tidak dapat terbagi (indivisible), alsintan sebaiknya didistribusikan kepada banyak pemakai terutama pemerataan terhadap petani kecil yang tidak mempunyai cukup finansial untuk memperolehnya. Selain itu, pengembangan alsintan juga dibekali dengan pengembangan sumberdaya manusia baik dari segi kemampuan hardskill dan softskill (Handaka, 2002).

PEMBAHASAN
Ruang lingkup strategis mekanisasi pertanian memiliki batasan yang sangat kompleks dalam proses pengembangnnya; Pertama, peningkatan produktivitas fokus pada konteks input benih, bibit, pupuk serta alsintan untuk mengolah yang optimum dengan menargetkan hasil output yang besar dibandingkan input yang diberikan. Kedua, efisensi dan proses, cenderung memperhatikan tahap pemberdayaan sumber daya dengan penyelesaian melalui proses yang telah rencanakan. Ketiga, kualitas dan nilai tambah yang menitikberatkan pada hasil dan pengolahan melalu mekanisasi pertanian dengan menekankan dari kerusakan fisik dan mekanis serta susut produk yang terjadi. Keempat, peningkatan pendapatan dengan mengandalkan mekanisasi pertanian mampu memberikan kentungan dari biaya produksi dengan mengolah produk pertanian yang mekanis, teratur serta praktis sehingga pada akhirnya akan mampu menambah pendapatan usaha tani (Pramudya, 1996).

Pengembangan mekanisasi pertanian yang memiliki batasan tentu memerlukan perangkat sebagai syarat agar mampu memanajemen penggunaan mekanisasi pertanian dengan baik. Perangkat yang dimaksud adalah mempersiapkan kelembagaan dan juga yang terpenting pemberdayaan sumber daya manusia sebagai pelaku. Petani di Indonesia pada umumnya memiliki karakteristik yang khas antara lain; mempunyai lahan yang sempit, lemah dalam penyediaan modal serta tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pandangan tersebut merupakan suatu kendala, sehingga pengenalan mekanisasi pertanian memerlukan waktu yang panjang. Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi saat ini, pengetahuan dan keterampilan petani meningkat tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada dan kebanyakan petani masih sulit menerima teknologi mekanisasi pertanian.

A.  Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Latar belakang berkaitan strategi pengembangan sumber daya manusia pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendongkrak produktivitas pertanian melalui mekanisasi pertanian. Berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian memaksa pemerintah unuk menerapkan teknologi dan inovasi untuk mengingkatkan produktivitas pertanian. Permasalahan selama ini yang sering terjadi dalam melakukan penerapan mekanisasi pertanian bahwa teknologi dan inovasi yang dibawa kepada petani lambat dan tidak mampu direspon oleh petani. Hal yang perlu diperhatikan bahwa petani menganggap lebih baik menggunakan teknik tradisional tanpa harus susah menguasai teknologi yang ada. Sikap tersebut menimbulkan kesulitan bagi petani untuk berkembangnya produktivitas pertanian (Tim BBP Mektan, 2015).

Gambar 1. Kemajuan Teknologi Traktor Tanpa Awak

Berdasarkan dari permasalahan tersebut, pemerintah sudah seharusnya menerbitkan kebijakan yang arif terkait pengembangan sumberdaya petani dan tenaga kerja sektor pertanian. Kebijakan yang dimaksud tertuju pada pembinaan dan pengawasan yang insentif serta berkelanjutan agar mampu mencapai target produksi.

1.    Pembinaan Tenaga Kerja Terampil
    Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengembangan mekanisasi pertanian ditingkat usaha tani yang tidak disertai keterampilan pengelolaannya akan mengalami hambatan. Pembinaan yang bersifat personal ini difokuskan pada pemberian softskill  dan keahlian dalam mengoperasikan alat dan mesin pertanian yang akan diadopsi oleh petani. Pembinaan pada mekanisasi pra panen hingga pasca panen serta pengolahan bahan produk pertanian merupakan lingkup yang harus dikuasai tenaga kerja. Tenaga kerja mampu bersinergi dengan petani sehingga mampu menyelesaikan proses penanaman hingga panen sesuai dengan target yang diinginkan. Upaya ini perlu dipikirkan suatu insentif yang kompetitif terhadap sektor non-pertanian, mengingat daya tarik sektor lain khususnya sektor industri sangat besar bagi masyarakat pedesaan.

Gambar 2. Menteri Pertanian RI mengoperasikan Traktor Roda Empat

   Pembinaan hendaknya dilakukan secara intensif dan didukung dengan berbagai sarana dan pra sarana yang diikuti dengan program berkelanjutan agar tidak terputus dari pembinaan tenaga kerja yang terampil. Umumnya tenaga kerja terampil dipadakan kaum-kaum muda yang memiliki kelihaian dan mudah menyerap informasi dari inovasi teknologi mekanisasi pertanian. Pembinaan dapat ditempatkan pada tingkat kabupaten atau kecamatan sehingga terjadi pemerataan terhadap desa yang memiliki potensi pertanian yang besar.

2.    Pengembangan Jasa Penyewaan
   Dalam kegiatan usahatani petani masih bekerja sebagai individu dan menjadikan peran dalam kategori lemah yang disebabkan karena mengelola usahatani dengan luas garapan kecil dan terpencar termasuk juga dalam pengadaan alsintan dengan kepemilikan modal yang rendah. Pemerintah perlu memperhatikan dengan penguatan kelembagaan melalui kelompok tani atau sejenisnya untuk menguatkan pemerataan mekanisasi pertanian disetiap petani dengan proses jas sewa alsintan (Nasrul, 2012).
  Pengembangan jasa penyewaan memiliki tujuan untuk memudahkan para petani untuk berkoordinasi terhadap pengelolaan alat dan mesin pertanian, sehingga mampu membantu sesama petanian dengan kemampuan finansial yang rendah akan kepemilikan alat dan mesin pertanian. Untuk itu perlu diadakannya pengembangan jasa penyewaan alat dan mesin pertanian yang dikelola oleh lembaga kelompok petani atau non-petani yang memiliki finansial yang baik dan mau berkecimpung di sektor pertanian. Harapannya dapat meningkatakan produktivitas pertanian dan pendapatan daerah  dari proses penyewaan alat dan mesin pertanian.

Gambar 3.Pemberdayaan Petani dengan Alat dan Mesin Pertanian (sumber: antaranews)

    Kepemilikan alat dan mesin pertanian tidak harus selalu diarahkan pada petani secara perorangan. Tidak semua petani mempunyai kemampuan yang memadai dalam pengelolaan alat dan mesin. Untuk pengembangan alat dan mesin petanian dengan teknologi menengah dan maju, sebaiknya diarahkan kepemilikannya pada petani yang mempunyai kemampuan manajerial yang cukup, kelompok tani yang maju atau koperasi yang sudah berkembang, yang tentunya memiliki kemampuan yang lebih baik (Pramudya, 1996). Strategi ini merupakan salah satu hal yang penting dalam pengadaan mekanisasi pertanian dan tentunya juga sebagai pusat sebagai arus jual-beli hasil pertanian, sehingga pendapatan masyarakat pedesaan dapat dipantau melalui jasa dalam bentuk lembaga atau koperasi.

3.    Pembinaan Teknisi Handal
     Pengadaan alat dan mesin pertanian untuk petani yang diadakan melalui program khusus bantuan pemerintah perlu diperhatikan antara kesesuaian antara tingkat teknologi alsintan yang dipergunakan dengan tingkat penerimaan wilayah bersangkutan. Misalnya untuk teknologi yang sudah diterima disuatu daerah tertentu, pengembangan daerah tersebut tidak akan banyak mengalami hambatan. Masalah yang perlu diperhatikan berkaitan ketersediaan bengkel-bengkel alat dan mesin pertanian yang tentunya masih minim dijangkau petani, juga kurangnya ketersediaan teknisi handal dalam penanganan alat dan mesin pertanian yang akan mengalami kerusakan menjadi permasalahan serius.
    Pembinaan dalam hal ini meliputi komponen teknisi bidang mekanisasi pertanian juga pembukaan dan pengembangan perbengkelan alat dan mesin pertanian. Pembinaan tersebut dimaksudkan agar teknisi berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian melalui pemeliharaan mekanisasi pertanian, saat ini teknisi masih dikategorikan sebagai tenaga kerja di bidang industri. Pembinaan ini merekrut orang-orang yang pernah menekuni bidang perawatan mesin dan pada pemuda yang berpengalaman hingga menjadikan teknisi yang handal. Selain itu, teknisi dibekali dengan arahan dan bantuan untuk membuka dan mengembangkan perbengkelan pertanian dengan status kepemilikan yang tidak terikat sehingga terbentuknya lembaga usaha yang menampung teknisi handal. 

Gambar 4. Teknisi Alat dan Mesin Pertanian

   Berkaitan dengan penerimaan alat dan mesin pertanian yang diberikan tingkat wilayah tertentu. Perlu diperhatikan juga penempatan teknisi handal dan perbengkelan pertanian yang  mudah diakses para petani, agar bisa memperbaiki alsintan pertanian yang rusak kepada teknisi handal di bengkel pertanian.

4.    Pengembangan Intelektual
   Pengembangan alsintan pertanian tidak dapat dilepaskan dari kegiatan penelitian dibidang ini . Dalam hal ini diperlukan keterlibatan peran orang intelektual seperti dari pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang diharapkan selalu mengikuti perkembangan penerapan alsintan dengan segala aspeknya. Penelitian yang dilakukan diarahkan pada dua hal, yaitu (1) untuk kepentingan masa sekarang, penelitian yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul di lapangan, dan (2) untuk kepentingan masa datang, penelitian yang dilakukan  untuk melakukan antisipasi kebutuhan teknologi di bidang pertanian di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan pada peningkatan efisiensi alsintan saja, tetapi perlu dipikirkan juga masalah peningkatan efisiensi tenaga kerja manusia yang menangani alat dan mesin pertanian tersebut (Pramudya, 1996). 

Gambar 5. Sarjana Teknologi Pertanian

   Peran pemerintah dalam konteks intelektual ini juga memberikan sejenis bantuan atau beasiswa bagi para anak petani atau anak-anak desa yang hidup dekat dengan kawasan pertanian untuk menuntut ilmu pada bidang mekanisasi pertanian. Peran ini menargetkan untuk di masa yang akan datang agar membantu para petani desa dengan bimbingan ilmu yang diperoleh. Selanjutnya, peran intelektual anak desa tersebut mampu menjembatani antara kebutuhan para petani serta kebijakan dari pemerintah sehingga terjalin komunikasi dan transparansi akan keseriusan pemerintah terhadap peningkatan produktivitas ekonomi pertanian. Alhasil, pemerintah bisa memberikan kepercayaan kepada peran intelektual untuk mengawasi produksi pangan dan menjaga kestabilan harga dari para mafia.

5.    Peran Swasta
    Peran pihak swasta, yang memproduksi dan mendistribusikan alsintan sampai ke tingkat petani, perlu ditingkatkan. Pelayanan yang selama ini diberikan masih perlu diberikan, misalnya kemudahan proses kredit, tingkat bunga yang wajar, penyediaan suku cadang yang memadai serta pelayanan puma jual. Untuk lebih memberikan bantuan kepada petani yang berada di pedesaan, jaringan pelayanan yang selama ini hanya terbatas dikota besar perlu diperluas sampai dipelosok-pelosok yang sudah menggunakan alat dan mesin pertanian, sehingga hambatan dalam pengembangan mekanisasi pertanian dapat dikurangi (Pramudya, 1996).
    Pihak swasta berperan aktif berkaitan dalam pembinaan terkini berkaitan teknologi dan inovasi baru yang bekerjasama dengan pihak intelektual. Hal itu disebabkan karena perkembangan akan teknologi begitu cepat sehingga sudah sepantasnya peran swasta juga berperan memberikan bantuan juga arahan berkaitan dengan alsintan terkini.

PENUTUP
Pencapaian strategi yang dinginkan, dapatlah ditarik suatu benang merah, peran, kontribusi, dan posisi strategis pengembangan sumber daya manusia terhadap mekanisasi pertanian dalam pembangunan sistem dan usaha produksi pertanian. Sebagai komponen kunci pertanian modern yang berwawasan pengembangan, mekanisasi pertanian (dalam bentuknya sebagai alat dan mesin pertanian) yang akan dikembangkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem itu sendiri. Ujung dari pengembangan mekanisasi pertanian tentunya melibatkan pada sistem agribisnis pula. Dinamika perubahan yang mewarnai perkembangan agribisnis akan berpengaruh pula pada ciri alsintan yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, prasyarat mekanisasi pertanian agar mampu memberikan dukungan kepada sistem agribisnis tidak hanya tumbuh sesuai dinamika akar rumput karena harus berpihak kepada kepentingan rakyat (berkerakyatan) dan melibatkan rakyat dalam prosesnya.

DAFTAR PUSTAKA
BBP Mektan. 2015. Telaah Strategis Mekanisasi Pertanian dalam Pembangunan Pertanian Berwawasan Agribisnis. Laporan Akhir Tim Studi Kebijakan Mekanisasi Pertanian. Bandung
Handaka. 2002. Makalah pada Expose dan Seminar Mekanisasi Pertanian dan Teknologi Pasca Panen. Malang
Nasrul, W. 2012. Pengembangan Kelembagaan Pertanian Untuk Peningkatan Kapasitas Petani Terhadap Pembangunan Pertanian. Jurnal Menara Ilmu Vol. III No.29, Juni 2012
Pramudya, B. 1996. Strategi Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian Untuk Usahatani Tanaman Pangan. Jurnal Agrimedia Volume 2 No.2 Septemher 1996.



KEPADA PARA PEMBACA AGAR TIDAK MEMPLAGIASI TULISAN INI AKAN TETAPI DAPAT DIJADIKANSEBAGAI REFERENSI DAN RUJUKAN. 
BERKARYALAH DENGAN BIJAK!!!!